Sebuah model terapi berbasis komputer diciptakan khusus untuk penderita fobia. Komputer psikiater ini dinamai "fearfighter". Tahun lalu, pelawan rasa takut ini adalah salah satu dari dua program yang disahkan lembaga kesehatan pemerintah Inggris untuk para penderita depresi ringan, mudah panik, atau fobia.
Namun komputer ini tidak dibuat untuk menggantikan psikiater. Bagi yang merasa tidak nyaman "berkonsultasi" dengan komputer, maka tetap bisa menemui terapis, dengan semua biaya ditanggung National Health Service (NHS). Namun sepertinya terapi cara baru ini akan banyak dipilih. Pasalnya di Inggris, pasien yang terdaftar di NHS rata-rata harus menunggu sekitar 6 bulan untuk bisa menemui psikiater. Dan hampir 90 penderita depresi ringan tidak pernah benar-benar berkonsultasi dengan psikiater.
Dengan adanya pengguna program komputer ini maka bagi sebagian pasien akan amat mudah mendapatkan psikiater. Cukup dengan mendapat password dari dokter umum mereka untuk bisa mengakses program secara online. Terapi dengan komputer ini masuk akal karena penderita fobia, mulai fobia laba-laba hingga takut ketinggian, bisa mendapatkan terapi dasar. Diperkirakan ribuan orang Inggris siap mendapat terapi dengan metode ini.
Ujicoba sudah dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat. Hasilnya banyak pasien yang mengalami kemajuan seperti rekan-rekan mereka yang melakukan konseling dengan terapis. Keunggulan lain, konsultasi dengan komputer tentu saja lebih murah.
Di "Fearfighter", pasien diarahkan untuk mengenali tanda-tanda yang bisa menimbulkan serangan panik, dengan tujuan panik bisa dicegah. Jika gagal, mereka diinstruksikan bagaimana mengendalikan rasa takut.
Program juga akan meminta pasien mengidentifikasi "personal triggers" untuk meredakan serangan panik mereka. Mereka disuruh untuk menjadi lebih patuh pada "bendera merah" ini dan tetap mencatat hal-hal yang harus mereka hindari karena akan membuat mereka tidak cemas. Kemudian komputer akan memberikan PR: pasien harus mencari situasi yang tidak nyaman untuk mempraktikkan kemampuan baru mereka.
Diagnosa Multipel Sklerosis dengan Tes Mata
Multiple sklerosis termasuk penyakit yang susah didiagnosa. Tetapi kini ada metode diagnosis baru yang tak hanya murah tapi juga efektif. Tes mata selama 5 menit yang disebut optical coherence tomography (OCT) cukup untuk mendukung penegakan diagnosa penyakit yang sering disingkat MS. Metode diagnosa ini melengkapi MRI yang selama ini digunakan untuk melihat prgresivitas kerusakan otak penderita.
OCT sudah diujicoba pada 40 penderita MS di Universitas Johns Hopkins. OCT digunakan untuk melihat lapisan-lapisan saraf di retina yang berfungsi sebagai serat optik. Proses yang dibantu oleh semacam lampu ini sederhana dan tidak menyakitkan. Lapisan saraf di retina merupakan bagian penting otak yang tidak diselubungi lemak dan protein yang disebut myelin. Hal ini membuat pengukuran kerusakan saraf menjadi sangat spesifik, berbalikan dengan perubahan otak yang terihat melalui MRI. Hasil OCT merefleksikan susunan tipe jaringan yang berbeda di otak.
Hasil dari skan akan disesuaikan dengan gambaran otak hasil pencitraan MRI. Peneliti menemukan koefisien korelasi sebesar 0,46 setelah perbedaan usia diperhitungkan. Koefisien korelasi merepresentasikan seberapa dekat dua variable ini berkaitan, dalam hal ini MRI dan OCT. Nilai koefisien korelasi bervariasi mulai dari -1 yang berarti korelasi berbalikan yang sempurna, hingga 0 (tidak berkorelasi) dan +1 (korelasi positif yang sempurna).
Pada pasien MS yang mengalami relapsing remitting, suatu bentuk MS yang paling sering ditemukan, koefisien korelasinya bernilai 0,69. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara pengukuuran retina dan kerusakan otak yang kuat.
Menurut Dr. Peter Calabresi, neurologi dari Johns Hopkins, MRi tetap alat terbaik untuk melihat kerusakan saraf. Tetapi OCT bisa mengukur seberapa sehat saraf kita dan berpotensi pula untuk mleihat gejala yang sudah meluas. Dia memeperingatkan bahwa kerusakan saraf optik bisa mengarah pada beberapa penyakit. Khusus untuk MS, OCT bisa menjadi tanda bahwa MS memang benar-benar ada dalam tubuh seseorang. Dan bila kerusakan saraf otik di mata bisa dikenali di awal, maka dokter memiliki peluang untuk mengidentifikasi potensi penyakit sebelum pasien terlanjur menderita pada tahap penyakit yang sudah lanjut.
Kateter Penstimulasi Saraf dari B Braun
B Braun, perusahaan farmasi di bidang anastesi, meluncurkan Contiplex® yang merupakan kateter penstimulasi sistem saraf yang tersumbat. Peluncuran dilakukan tahun ini bertepatan dengan pertemuan tahunan American Society of Anesthesiologists di San Francisco.
Menurut profesor Stuart A. Grant, ahli anestesiologi dari Duke University yang mengembangkan sistem kateter ini, kateter ini amat mudah digunakan. Ia sudah beberapa kali mencobanya di beberapa cabang saraf di bagian tubuh atas maupun bawah. Jarum dan kateter ini juga memiliki kelebihan, yakni mudah ditelusuri dengan USG yang disebut Grant sebagai "bonus".
Contiplex® Stim System, begitulah kateter ini dinamai, akan menghilangkan langkah-langkah prosedural yang dulunya dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian pasien. Stimuplex® Switch yang baru akan membuat seorang anestesiolog bisa mengganti arus dari jarum ke kateter tanpa harus mencabut dan menyambungkan benang. Pemindahan ini berlangsung baik dan si anestesiolog bisa tetap fokus pada hambatan saraf.
Sistem Contiplex Stim sengaja dikembangkan B. Braun sehingga penempatan kateter bisa menjadi amat mudah. Alat ini akan mulai dipasarkan di Amerika Serikat dan Kanada pada Januari 2008.
Sistem Pendeteksi Nyeri yang Inovatif
SPOC, sebuah sistem pendeteksi nyeri terbaru siap diperkenalkan. SPOC dikembangkan pertamakali tahun 2005 di Stevens Institute of Technology, Hoboken, New Jersey oleh Dr. Norman Marcus, seorang ahli manajemen nyeri dan tiga ahli teknik biomedis.
Apa keunggulan SPOC? Sistem ini dikembangkan sebagai sistem diagnosis yang tak hanya terdiri dari alat tetapi juga metodologi khusus. Dengan SPOC bisa dilihat otot-otot tertentu yang menjadi penyebab nyeri.
Alat ini juga menjadi alat pertama yang menggunakan stimulasi elektroneural untuk keperluan diagnosis. Sistem diagnosis yang dimiliki SPOC akan bermanfaat bagi pasien, dalam hal ini mengurangi terapi yang terbukti tidak efektif seperti prosedur operasi. Alat ini juga memudahkan dokter untuk menentukan sumber nyeri secara tepat dan segera melakukan tindakan pada otot-otot yang memicu nyeri.
Yang pasti pasar SPOC tidak sedikit. Di Amerika saja sebagai tempat lahirnya alat ini, sekitar 100 juta orang menderita nyeri kronis dan hampir 80% akan terjangkau sistem ini. Tak heran, banyak investor yang melirik dan rela mengucurkan uang untuk merampungkan proyek ini. Tahun 2008 kabarnya SPOC siap diperkenalkan ke publik kedokteran.
Mesin Dialisis Terbaru Lebih Aman
Namanya AK 96. Bukan senjata pembunuh tentunya, melainkan mesin dialisis terbaru buatan Gambro. Mesin AK 96 akan menjadi penerus AK 95 S yang tentu lebih baik dalam hal fleksibilitas dan keselamatan.
AK 96 dikembangkan sesuai prubahan ekonomi dan kebutuhan pasar yang membutuhkan sebuh mesin kualitas tinggi dengan fitur-fitur inovatif dan bernilai tinggi. AK 96 secara substansial menunjukkan adanya perbaikan dibandingkan pendahulunya dan diharapkan bisa relevan dengan seluruh pasar.
Fitur-fitur inovatif yang ada di mesin terbaru ini misalnya sistem Diascan®. Modelnya yang kokoh akan membuat pengguna lebih fleksibel dalam menyiapkan air dan konsentrat. Dengan pilihan konfigurasi yang luas, mesin AK 96 bisa "klop" dengan kebutuhan semua provider dialisis yang membutuhkan kualitas lebih baik dan secara operasional lebih efisien.
Dalam peluncuran alat ini, presiden EMEA (Badan POM-nya Eropa) Michael Lewis menyatakan, dialisis harus sederhana, aman, dan efektif. Dan ia secara khusus menyatakan gembira dengan lahirnya AK 96. Mesin ini akan tersedia secara luas mulai Februari tahun depan. Pasar utama yang dibidik berturut-turut adalah Inggris, Timur Tengah, Afrika, Kanada, India, Vietnam, Pakistan, Hong Kong, Singapora, Indonesia, dan Thailand. Pasar lain menyusul tahun berikutnya. Tetapi AK 96 saat ini tidak dijual di Amerika Serikat.
Menangkal HIV dengan Teknologi Laser
Sejenis "senjata" dengan teknologi laser infra merah dikabarkan bisa digunakan untuk melindungi sistem imun dari serbuan virus HIV. Hebat? Itu belum seberapa. Selain HIV, alat ini juga mampu menangkal serangan virus dan bakteri lain yang berbahaya, tanpa menimbulkan efek samping serius.
Berita gembira tersebut dirilis dalam Journal of Physics: Condensed Matters, awal November ini. Temuan ini merupakan hasil studi yang dilakukan Kong-Thon Tsen dari Arizona State University, yang menggunakan laser infra merah bernama femtosecond. Laser ini dibuat dengan sangat hati-hati dengan panjang gelombang yang sangat spesifik sehingga bisa menjangkau virus dan bakteri yang menjadi target, tanpa melukai atau merusak sel sehat di dalam tubuh.
Alat ini diberi nama Impulsive Stimulated Raman Scattering, yang dibangkitkan dengan getaran yang bisa memusnahkan protein yang menyelubungi mikroorganisme. Peneliti mengatakan, mereka telah menemukan kadar getaran yang pas yang bisa melumpuhkan virus maupun bakteri, dan mengabaikan materi-materi yang sensitif seperti sel-sel mamalia agar tidak ikut rusak.
Alat ini tengah disipakan untuk diujicobakan memberantas bakteri E. coli, virus yang sering ditemukan pada pohon tembakau, dan virus-virus lain yang bersarang dan menyerang manusia. Laser yang oleh penemunya disingkat ISRS ini akan siap digunakan untuk disinfektan dan bisa menjadi sarana terapi yang potensial untuk serangan bakteri dan virus mematikan yang sudah mengalami resisitensi terhadap obat. Sayangnya menurut sebagian pengamat, penelitian alat ini masih di tahap amat dini dan aplikasi langsung ke tubuh manusia masih harus melalui satu jalan panjang
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Desember 2007 , Halaman: 76