Counter

Sunday, December 16, 2007

Komputer Pelawan Rasa Takut

Sebuah model terapi berbasis komputer diciptakan khusus untuk penderita fo­bia. Komputer psikiater ini di­namai "fearfighter". Tahun la­lu, pelawan rasa takut ini ada­lah salah satu dari dua program yang disahkan lembaga ke­sehatan pemerintah Inggris untuk para penderita depresi ri­ngan, mudah panik, atau fobia.

Namun komputer ini ti­dak dibuat untuk menggantikan psi­­kiater. Bagi yang me­rasa ti­dak nyaman "ber­konsultasi" de­­­ngan kompu­ter, maka tetap bisa menemui terapis, dengan semua biaya ditanggung Na­tio­nal Health Service (NHS). Na­mun sepertinya terapi cara baru ini akan banyak dipi­lih. Pa­­salnya di Inggris, pa­sien yang terdaftar di NHS rata-rata harus menunggu se­kitar 6 bu­lan untuk bisa menemui psi­kia­ter. Dan hampir 90 pende­ri­ta depresi ringan tidak pernah benar-be­nar berkonsultasi de­ngan psikiater.


Dengan adanya pengguna prog­ram komputer ini maka ba­­gi sebagian pasien akan amat mudah mendapatkan psi­­­kiater. Cukup dengan mendapat password dari dokter umum mereka untuk bisa meng­akses prog­ram secara online. Terapi de­ngan kompu­ter ini masuk akal karena penderita fobia, mulai fo­bia laba-laba hingga takut ke­tinggian, bisa mendapatkan te­rapi da­sar. Diperkirakan ribuan orang Inggris siap mendapat te­rapi dengan metode ini.


Ujicoba sudah dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat. Ha­­silnya banyak pasien yang mengalami kemajuan seperti rekan-rekan mereka yang me­lakukan konseling dengan te­rapis. Keunggulan lain, konsultasi dengan komputer ten­tu saja lebih murah.
Di "Fearfighter", pasien di­arahkan untuk mengenali tan­da-tanda yang bisa menimbul­kan serangan panik, de­ngan tujuan panik bisa dicegah. Ji­ka gagal, mereka diins­truk­si­kan ba­gaimana mengendali­kan ra­sa takut.


Program juga akan memin­ta pasien mengidentifikasi "per­­so­nal triggers" untuk me­re­da­kan serangan panik mereka. Me­reka disuruh untuk menjadi lebih patuh pada "ben­­dera me­rah" ini dan tetap mencatat hal-hal yang harus mereka hindari karena akan membuat me­reka tidak ce­mas. Kemudian komputer akan memberikan PR: pasien ha­rus mencari si­tua­si yang ti­dak nyaman untuk memprak­tik­kan kemampuan ba­ru me­reka.

Diagnosa Multipel Sklerosis dengan Tes Mata
Multiple sklerosis termasuk penyakit yang susah didiagnosa. Tetapi kini ada me­tode diagnosis baru yang tak hanya murah tapi ju­ga efektif. Tes mata selama 5 me­nit yang disebut optical co­he­rence tomography (OCT) cu­kup untuk mendukung penegakan diagnosa penyakit yang sering disingkat MS. Metode diagno­sa ini melengkapi MRI yang se­lama ini digunakan un­tuk melihat prgresivitas ke­ru­sakan otak penderita.


OCT sudah diujicoba pada 40 penderita MS di Uni­ver­si­tas Johns Hopkins. OCT digunakan untuk melihat lapisan-lapisan saraf di retina yang ber­fungsi sebagai serat optik. Proses yang dibantu oleh se­macam lampu ini sederhana dan tidak me­nya­kit­kan. Lapis­an saraf di retina me­rupakan ba­gian pen­ting otak yang tidak diselu­bungi lemak dan protein yang disebut myelin. Hal ini membuat pengukuran keru­sak­­an saraf menjadi sangat spesifik, ber­ba­lik­an dengan per­ubahan otak yang terihat me­lalui MRI. Hasil OCT merefleksikan su­sun­an tipe ja­ringan yang berbeda di otak.


Hasil dari skan akan dise­suai­kan dengan gambaran otak hasil pencitraan MRI. Pe­neliti menemukan koefisien ko­relasi sebesar 0,46 setelah perbedaan u­sia di­per­hitung­kan. Ko­e­fisien korelasi me­re­pre­senta­si­kan se­be­rapa de­kat dua va­riable ini berkaitan, dalam hal ini MRI dan OCT. Ni­lai koefisien korelasi bervaria­s­i mulai dari -1 yang berarti ko­relasi berbalikan yang sempurna, hingga 0 (tidak berkorelasi) dan +1 (korelasi positif yang sempurna).
Pada pasien MS yang meng­­­alami relapsing remitting, sua­tu bentuk MS yang paling se­ring ditemukan, koefisien ko­relasinya bernilai 0,69. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara pengukuuran retina dan kerusakan otak yang kuat.


Menurut Dr. Peter Calabre­si, neurologi dari Johns Hop­kins, MRi tetap alat terbaik un­­tuk melihat kerusakan sa­raf. Tetapi OCT bisa mengukur se­be­rapa sehat saraf kita dan ber­potensi pula untuk mleihat gejala yang sudah meluas. Dia memeperingatkan bahwa ke­rusakan saraf optik bisa mengarah pada beberapa pe­nyakit. Khusus untuk MS, OCT bisa menjadi tanda bahwa MS memang benar-benar ada da­lam tubuh seseorang. Dan bi­la kerusakan saraf otik di ma­ta bisa dikenali di awal, maka dokter memiliki peluang untuk mengidentifikasi potensi pe­nya­kit sebelum pasien terlanjur menderita pada tahap pe­nyakit yang sudah lanjut.


Kateter Penstimulasi Saraf dari B Braun

B Braun, perusahaan far­ma­si di bidang anastesi, meluncurkan Contiplex® yang merupakan kateter penstimulasi sistem saraf yang tersumbat. Peluncuran dila­ku­kan tahun ini bertepatan de­ngan pertemuan tahunan Ame­rican Society of Anes­the­siologists di San Francisco.
Menurut profesor Stuart A. Grant, ahli anestesiologi dari Duke University yang me­ngem­bangkan sistem kateter ini, kateter ini amat mudah di­gunakan. Ia sudah beberapa kali mencobanya di beberapa cabang saraf di bagian tubuh atas maupun bawah. Jarum dan kateter ini juga memiliki ke­lebihan, yakni mudah di­te­lu­suri dengan USG yang disebut Grant sebagai "bonus".

Contiplex® Stim System, be­gitulah kateter ini dinamai, akan menghilangkan langkah-langkah prosedural yang du­­lu­nya dimanfaatkan untuk meng­­­alihkan perha­ti­an pa­sien. Sti­mu­plex® Switch yang ba­ru akan membuat seorang anestesio­log bisa mengganti arus dari jarum ke ka­teter tan­pa harus mencabut dan me­nyambungkan be­nang. Pemin­dah­an ini berlangsung baik dan si anestesiolog bisa tetap fokus pa­da hambatan saraf.
Sistem Contiplex Stim se­ngaja dikembangkan B. Braun sehingga penempat­an kateter bisa menjadi amat mudah. Alat ini akan mulai di­pasarkan di Amerika Serikat dan Ka­na­da pada Januari 2008.

Sistem Pendeteksi Nyeri yang Inovatif
SPOC, sebuah sistem pen­de­teksi nyeri terbaru siap diperkenalkan. SPOC di­kem­bangkan pertamakali ta­hun 2005 di Stevens Institute of Technology, Hoboken, New Jersey oleh Dr. Norman Mar­cus, seorang ahli manajemen nye­ri dan tiga ahli teknik biomedis.
Apa keunggulan SPOC? Sis­tem ini dikembangkan se­ba­gai sistem diagnosis yang tak hanya terdiri dari alat te­ta­pi juga metodologi khusus. De­ngan SPOC bisa dilihat otot-otot tertentu yang menjadi penyebab nyeri.

Alat ini juga menjadi alat per­tama yang menggunakan stimulasi elektroneural untuk ke­perluan diagnosis. Sistem diagnosis yang dimiliki SPOC akan bermanfaat bagi pasien, dalam hal ini mengurangi tera­pi yang terbukti tidak efektif se­perti prosedur operasi. Alat ini juga memudahkan dokter un­tuk menentukan sumber nye­ri secara tepat dan segera me­lakukan tindakan pada otot-­otot yang memicu nyeri.
Yang pasti pasar SPOC ti­dak sedikit. Di Amerika saja se­bagai tempat lahirnya alat ini, sekitar 100 juta orang men­derita nyeri kronis dan ham­pir 80% akan terjangkau sistem ini. Tak heran, banyak investor yang melirik dan rela mengucurkan uang untuk me­rampungkan proyek ini. Tahun 2008 kabarnya SPOC siap di­perkenalkan ke publik kedokteran.

Mesin Dialisis Terbaru Lebih Aman
Namanya AK 96. Bukan sen­jata pembunuh tentu­nya, melainkan mesin dia­­lisis terbaru buatan Gam­bro. Mesin AK 96 akan menjadi penerus AK 95 S yang tentu le­bih baik dalam hal fleksibilitas dan keselamatan.
AK 96 dikembangkan se­suai prubahan ekonomi dan ke­butuhan pasar yang mem­bu­tuhkan sebuh mesin kualitas tinggi dengan fitur-fitur inovatif dan bernilai tinggi. AK 96 secara substansial menunjuk­kan adanya perbaikan diban­dingkan pendahulunya dan di­harapkan bisa relevan dengan seluruh pasar.
Fitur-fitur inovatif yang ada di mesin terbaru ini misalnya sistem Diascan®. Modelnya yang kokoh akan membuat peng­guna lebih fleksibel da­lam menyiapkan air dan konsentrat. Dengan pilihan konfi­gu­rasi yang luas, mesin AK 96 bisa "klop" dengan kebutuhan semua provider dialisis yang membutuhkan kualitas lebih baik dan secara operasional lebih efisien.
Dalam peluncuran alat ini, presiden EMEA (Badan POM-nya Eropa) Michael Lewis me­nya­takan, dialisis harus se­der­­hana, aman, dan efektif. Dan ia secara khusus menya­ta­kan gembira dengan la­hir­nya AK 96. Mesin ini akan ter­sedia se­cara luas mulai Feb­ruari tahun depan. Pasar uta­ma yang di­bidik berturut-turut adalah Ing­gris, Timur Tengah, Afrika, Ka­na­da, India, Viet­nam, Pa­kis­tan, Hong Kong, Si­ngapora, In­do­nesia, dan Thai­land. Pasar lain menyusul ta­hun berikutnya. Tetapi AK 96 saat ini tidak dijual di Amerika Serikat.

Menangkal HIV dengan Teknologi Laser
Sejenis "senjata" dengan tek­nologi laser infra merah dikabarkan bisa diguna­kan untuk melindungi sistem imun dari serbuan virus HIV. He­bat? Itu belum seberapa. Se­lain HIV, alat ini juga mam­pu me­nangkal serangan virus dan bak­teri lain yang berbahaya, tan­pa menimbulkan efek sam­ping serius.
Berita gembira tersebut di­rilis dalam Journal of Phy­sics: Condensed Matters, awal No­vember ini. Temuan ini merupa­kan hasil studi yang dilakukan Kong-Thon Tsen dari Arizona State University, yang menggunakan laser infra me­rah bernama femtosecond. Laser ini di­buat dengan sa­ngat hati-hati de­ngan panjang gelombang yang sangat spe­sifik sehingga bisa menjang­kau virus dan bak­teri yang men­jadi target, tanpa melukai atau merusak sel sehat di da­lam tubuh.
Alat ini diberi nama Im­pul­sive Stimulated Raman Scat­tering, yang dibangkitkan de­ngan getaran yang bisa me­mus­nahkan protein yang me­nye­lubungi mikroorganisme. Peneliti mengatakan, mereka telah menemukan kadar ge­tar­an yang pas yang bisa me­lum­puhkan virus maupun bakteri, dan mengabaikan materi-ma­te­ri yang sensitif seperti sel-sel mamalia agar tidak ikut rusak.
Alat ini tengah disipakan un­tuk diujicobakan membe­ran­tas bakteri E. coli, virus yang se­ring ditemukan pada po­hon tem­bakau, dan virus-vi­rus lain yang bersarang dan me­nyerang manusia. Laser yang oleh penemunya dising­kat ISRS ini akan siap diguna­kan untuk disinfektan dan bi­sa menjadi sa­rana terapi yang potensial un­tuk serangan bakteri dan virus mematikan yang sudah meng­alami resisitensi ter­hadap obat. Sayangnya me­nurut se­ba­gian pengamat, pe­nelitian alat ini masih di tahap amat di­ni dan aplikasi langsung ke tu­buh manusia masih harus me­la­lui satu jalan panjang
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Desember 2007 , Halaman: 76

Comments for this post