Departemen Kesehatan saat ini tengah membahas pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) Ketersediaan Kefarmasian. Dalam PP tersebut salah satu butir di antaranya akan membahas perihal dibolehkannya seorang apoteker mengganti obat yang diresepkan oleh dokter dengan obat untuk jenis penyakit yang sama dengan harga yang lebih murah bagi pasien.
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes Richard Panjaitan memaparkan dengan terbitnya PP tersebut, saat di apotek nantinya apoteker dapat memberikan pilihan alternatif resep obat lengkap dengan perbandingan harganya, yang dapat dipilih oleh pasien. “Nanti pasien dapat memilih, resep obat mana yang sesuai dengan kantongnya,” ujar Richard usai seminar sehari bertajuk “Mencari Solusi Alternatif Dalam Mewujudkan Masyarakat Sehat Dengan Obat Murah dan Terjangkau” di Jakarta, Rabu (25/7). Dengan terbitnya PP tersebut, diharapkan praktik kolusi resep obat antara dokter dan perusahaan farmasi dapat ditekan. Richard mengaku PP ini sedang dibahas persiapannya. Ia sendiri belum berani memprediksi kapan PP ini akan diterbitkan. “Kita juga telah menghubungi IDI (ikatan Dokter Indonesia) guna pembahasan.” Ketua Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) Haryanto Dhanutirto sependapat dengan wacana ini. “Dengan demikian, pasien bisa memilih,” tandasnya. Bahkan, lanjut Haryanto, kalau perlu, dibuat peraturan dimana dokter tidak boleh menuliskan merek obat, kecuali obat paten, tetapi cukup menuliskan bahan generiknya saja. Menurutnya, akibat kolusi obat antara dokter dan perusahaan farmasi di Tanah air sudah dinilai keterlaluan.
Pada tahun lalu, perusahaan farmasi mengeluarkan biaya sekitar Rp1 triliun guna membiayai seminar dokter. Selain itu, tahun lalu perusahaan farmasi juga mengeluarkan biaya rekreasi dokter hingga Rp3 triliun. “Kalau begini, bagaimana dokter mau mandiri dalam penulisan resep. Inilah yang menyebabkan biaya kesehatan (obat) tinggi di Indonesia. Haryanto berpendapat untuk mengurangi kolusi dokter, yang paling ideal adalah dengan penerapan asuransi kesehatan nasional, yang semua tindakan kesehatan dan pemberian obat terhadap penyakit telah terstandarisasi. “Penulisan resep dikirim dokter ke asuransi dengan komputer, jadinya tidak ada lagi tulisan resep dokter berupa kode yang mirip cakar ayam yang hanya bisa dibaca apotek tertentu,” tandasnya. Anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Suksmaningsih pada prinsipnya berpendapat, PP tersebut merupakan langkah maju. Namun, tambahnya, idealnya adalah pemerintah harus dapat mendidik pasien bahwa dia bisa memilih. Ia juga menganjurkan agar PP tersebut suatu waktu dapat dicabut, pasalnya, ke depan terdapat kemungkinan perusahaan farmasi berkolusi juga dengan apoteker. “Tetapi intinya PP ini telah menjadikan apoteker dan dokter dalam posisi sejajar.
Hal ini sebetulnya telah diterapkan di negar alain seperti Malaysia,” ucapnya. Dirut PT Indo Farma Syamsul Arifin berpendapat salah satu yang menyebabkan ongkos sehat di Indonesia mahal, selain dokter yang suka menuliskan resep obat mahal, adalah image di masyarakat bahwa obat generik yang kualitasnya sama dengan obat bermerek, dianggap murahan sehingga masyarakat enggan memakai. “Secara marketing, seharusnya image ini perlu direposisi, yakni dengan menguji ulang kualitas obat generik dengan obat paten, kemudian di-launching kembali.” Ia mengatakan posisi obat generik hanya bisa diserap oleh masyarakat sebanyak 10% saja.
Sumber: http://www.media-indonesia.com/ HUMANIORA Copyright © 2007 Media Indonesia Online.
Comments for this post